Pemberian yang sempurna
Pada hari minggu keempat bulan
Oktober tak tahu tahun berapa aku mendapat suatu pengalaman yang sangat luar
biasa. Ketika itu aku diperbolehkan untuk pergi ke luar seminari dari pagi
hingga sore hari untuk sekedar refreshing
di akhir bulan. Aku memutuskan untuk pergi seorang diri ke sebuah gua Maria
yang berada cukup jauh dari seminari.
Di persimpangan sebelum lampu merah,
aku melihat seorang penjual Koran disabilitas. Dengan dua tongkat yang
membantunya untuk berjalan, ia terus berkeliling dan menunggu pembeli koran di
area lampu merah tersebut. Kendaraan lalu
lalang kesana kemari. Namun, si penjual Koran itu seolah mengabaikannya.
Kuperhatikan wajahnya tak ada sedikit pun ekspresi lelah yang terlihat, yang
ada hanyalah senyum manis dan semangat berjualan Koran. Aku sempat tertegun
diam karena kagum akan semangat yang dimiliki oleh orang tersebut.
Sekitar lima belas menit aku
menunggu mobil bus yang tak kunjung datang. Aku kembali memfokuskan pandanganku
ke arah si penjual Koran tadi. Sepertinya si penjual Koran tadi mulai lelah.
Entah kenapa hatiku tergerak seolah ingin membantu si penjual Koran tersebut.
Tapi aku bingung… apa yang harus kubuat. Aku teringat bahwa sebelum ini aku
sempat membeli sebotol air minum kemasan.
“Apakah aku harus memberikan ini?”
tanyaku dalam hati.
Sebenarnya aku juga haus, tapi jika
aku tidak memberikan ke penjual Koran tersebut rasanya kasihan sekali.
Huftt… akhirnya aku memberikan sebotol
air minum itu kepada si penjual Koran tadi nampaknya ia lebih membutuhkan
dibanding aku. Lalu aku menghampirinya dan menyapanya dengan sedikit rasa canggung.
“Pak… ini aku punya air minum… ambilah.”
Kataku sambil menyodorkan sebotol air minum kepada si penjual Koran.
“Alhamdulilah…
terima kasih ya.” Kata si penjual Koran itu kepadaku.
Aku tersenyum puas ketika ia sudi
menerima pemberianku. Sempat aku berpikir bahwa penjual Koran itu menolak
pemberianku. Tapi ternyata dia menerima dengan sukacita.
Tiga puluh menit berlalu mobil bus
tak kunjung datang. Sempat ingin kubatalkan rencana ini. Tapi Tuhan memberiku
sedikit pencerahan, aku melihat di kejauhan ada sebuah bus yang hendak
berjalan.
Ketika bus itu hendak menghampiriku.
Aku menyempatkan untuk melirik ke arah si penjual Koran tadi. Aku belum sama
sekali melihat si penjual Koran itu meminum seteguk air dari air minum yang
kuberi. Aku bingung. Tiba-tiba tak jauh dari posisi dimana aku berdiri. Ada seorang
pemulung yang sudah tua sedang duduk di pinggir jalan, nampaknya sedang
kehausan. Aku kembali merasa iba. Namun, aku tidak memiliki sebotol air mineral
lagi, tetapi tiba-tiba penjual Koran tadi datang dan menghampiri pemulung tua
tadi lalu menyodorkan sebotol air minum. Sebotol air minum yang diberikan oleh
si penjual Koran tadi kepada pemulung tua sepertinya itu adalah pemberian dariku.
Aku sempat mendengar dua kata yang
diucapkan oleh si penjual Koran tadi “...lebih membutuhkan.” Aku tak tahu apa
kata sebelum dan sesudahnya. Yang jelas dua kata itulah yang sempat kudengar
dan teringat dalam otakku. Lalu aku langsung naik ke dalam bus.
Di
dalam bus aku hanya memikirkan kejadian tadi. Awalnya dalam hatiku sempat
terasa kecewa karena pemberianku tidak dihargai malah diberikan oleh oranglain.
Aku malah sempat berpikir kalau besok lagi aku bertemu pengemis atau penjual Koran
aku tak akan memberikan sebotol air minum ataupun makanan dan hal lainnya.
***
Aku duduk tenang dalam bus itu tapi
masih memikirkan kejadian tadi. Tiba-tiba ada seorang ibu yang sudah cukup tua
masuk membawa seorang anaknya yang maaf ngomong “idiot”. Ibu itu berdiri sembari
menggandeng anaknya karena memang kursi dalam bus itu sudah penuh. Entah mengapa
kembali rasa iba ku muncul. Sepertinya dengan aku memberikan kursi bagi ibu itu
untuk duduk akan membuat semuanya menjadi lebih baik. Sebenarnya aku cukup
letih akibat menunggu kedatangan bus yang terlalu lama tetapi tak apalah. Aku mempersilahkan
ibu itu untuk duduk dan memangku anaknya. Ibu itu sepertinya sangat senang ketika
mendapatkan tempat duduk karena mungkin ia lebih letih dari aku. Tak apalah…
Aku sangat terkesan ketika ibu itu
memangku anaknya dan memeluknya. Meskipun anaknya tercipta seperti itu tapi
rasa syukur tetap ada pada ibu itu. Hal itu sangat nampak dari wajahnya, senyumnya
yang menandakan bahwa ia begitu menikmati pemberian Tuhan.
***
Sekitar empat puluh menit perjalanan
akhirnya aku sampai di tujuanku yaitu Goa Maria Rosa Mystica. Disitu aku
mencari tempat lalu duduk , mengeluarkan Rosario dan mulai berdoa. Sepanjang
berdoa Rosario aku berusaha untuk tidak membuka mataku dan masuk ke dalam
suasana imajinasi yang paling dalam.
Dalam imajinasiku sempat aku
mengkhayalkan kenapa aku bisa lahir. Apa yang harus kulakukan di dunia ini. Apakah
aku hidup untuk makan? Apakah aku hidup untuk bersenang-senang? Kalau bukan
lalu untuk apa aku hidup?
Imajinasi
ku berubah menjadi peristiwa yang kualami hari ini sembari terus berdoa.
Pertama, aku bertemu seorang penjual Koran lalu kuberikan padanya sebotol air
minum dan wajahnya menjadi ceria. Kedua, aku melihat si penjual Koran yang
kuberikan sebotol air minum tadi menghampiri seorang pemulung tua yang sedang
duduk di tepi jalan raya dan ia pun memberikan sebotol air minum yang kuberikan
tadi kepada pemulung itu. Dan disitu aku mendengar dua kata yaitu “…lebih
membutuhkan..”. Ketiga, aku melihat seorang ibu yang membawa anaknya yang
mengalami gangguan mental lalu aku memberikan tempat duduk kepadanya. Dan nampak
diwajahnya bahwa ia senang bisa duduk karena mungkin begitu lelah.
Aku
terus melanjutkan doaku. Dan secara tiba-tiba aku merasa pikiran ku seperti
dituntun untuk masuk dan melihat kembali peristiwa hari ini.
“Lihat…
itulah sebenarnya tujuan kamu diciptakan.” Kata-kata itu muncul secara spontan
dalam benakku. Aku sempat tertegun diam merasa bingung apa sebenarnya yang
terjadi pada diriku hari ini. Secara perlahan aku kembali mendalami peristiwa
hari ini. Dengan aku memberikan sebotol air minum, aku telah memberikan
sukacita bagi si penjual Koran. Dengan si penjual Koran memberikan sebotol air
minum kepada si pemulung tua, si penjual Koran telah memberi kelegaan bagi si
pemulung tua yang kehausan dan itu berakar dari pemberianku. Dan terakhir
dengan aku memberikan tempat duduk bagi seorang ibu yang anaknya mengalami
gangguan mental telah memberikannya kelegaan.
Aku
mulai tersadarkan sepertinya diluar sana banyak orang yang membutuhkanku entah
dalam bentuk apapun itu. Hal ini kurasakan secara nyata. Bunda Maria menjawab
kebingunganku. Tuhan menjadikanku sebagai hadiah yang istimewa bagi sesamaku
sehingga dengan kehadiranku di dunia ini orang lain dapat beroleh sukacita. Aku
merasa terharu, ternyata aku adalah orang yang secara khusus dipilih Allah. Untuk
itulah aku hidup!
Melalui
peristiwa hari ini aku memperoleh undangan yang lebih istimewa lagi dari Tuhan
yaitu menjadi sumber sukacita bagi sesamaku. Sepanjang perjalanan hidupku telah
dibuat oleh Tuhan, entah nanti aku akan berduka, sukacita, susah, gembira itu
semua adalah cerita jalan hidupku yang dibuat oleh Tuhan aku tidak bisa
mengubahnya. Yang bisa kulakukan adalah menikmati segalanya. Karena itulah
pemberian yang istimewa!
Comments
Post a Comment